-->

Kedai Kopi Si Budi Kecil

Di sebuah kota kecil yang terletak di Surabaya, ada kisah memilukan antara seorang pengusaha dengan anak jalanan tukang semir sepatu. Mendengar kisah dan tingkah laku anak jalanan itu, akhirnya si pengusaha mengangkat anak itu untuk dijadikan anaknya.

Jalan raya terlihat ramai lalu lalang kendaraan bermotor. Di bawah lampu merah duduk seorang anak kecil dengan barang bawaannya. Sambil tertunduk lesu, anak kecil itu berusaha menutupi wajahnya dengan sobekan kertas kusam
Lima menit kemudian, anak itu berpindah tempat. Dia menuju pelabuhan yang tak jauh dari tempat duduknya. Sambil menunggu orang lalu lalang yang membutuhkan jasanya sebagai tukang semir sepatu, anak itu bersandar di bawah pohon dekat kedai kopi.
Satu jam telah berlalu, anak itu tertidur pulas. Tak lama kemudian seorang bapak yang berprofesi sebagai pengusaha datang. Dari kisahnya sebagai pengusaha; Demi pekerjaanya setiap hari dia rela harus menyeberang sungai dengan sebuah kapal kecil untuk menuju kantornya. Sebelum pergi dan pulang dari kerja, biasanya ia mampir di sebuah kedai yang letaknya tak jauh dari pelabuhan untuk sekedar minum kopi.
Tepat pukul 03.00 suara kapal yang berangkat meninggalkan pelabuhan membangunkan anak jalanan itu. Budi namanya. Dia tersentak, terbangun dan mengusap mukanya. Dengan perlahan dia menata duduknya sembari mengambil botol plastik berisi air putih di dalam tas kusamnya.
Si bapak pengusaha melihatnya. Dia memanggil Budi yang baru saja terbangun. “Nak, mari datang kemari. Tolong semirkan sepatu Bapak ya?” Budi datang menghampiri pengusah itu.
“Mau yang biasa atau yang istimewa pak?” Tanya Budi, sembari membuka tasnya. “Terserah kamu, pokonya yang bagus.” Jawab pengusaha tadi.
Budi memulai pekerjaannya. Dengan penuh semangat dia mulai menyemir sepatu si pengusaha tadi. Dari mata anak itu terpancar betapa senangnya ia melakukan pekerjaan yang baru saja dia dapatkan selama satu hari. Dengan telaten dan penuh semangat, Budi melakukannya. Setelah selesai, sejumlah uang pun diterimanya. Seketika itu, dari bibir Budi keluar ucapan ‘terima kasih’.
Itulah yang dilakukan Budi setiap harinya. Demi sesuap nasi untuk bisa melanjutkan hidupnya. Dia harus rela melawan kejamnya dunia dan terik panas matahari. Tak ada seorangpun yang mendampingi hidupnya. Siang malam dia hanya berteman dengan nasibnya. Malam tidur, pagi bangun dan siap untuk bekerja.
Keesokan harinya Budi sudah bersiap di tempat biasanya. Di bawah pohon di dekat kedai Budi menunggu pengusaha yang biasa datang sebelum berangkat kerja. Jarum jam menunjuk angka 8, sebentar lagi bapak pengusaha akan datang.
Lima menit kemudian Budi melihat kapal berlabuh. Ketika pengusaha itu baru turun dari kapal kecil yang ditumpanginya, dari kejauhan anak itu segera berlari menghapiri si pengusaha. Dengan senang hati ia membantu membawa tas bapak itu sampai ke kedai kopi.
Sementara si pengusaha menikmati hangatnya secangkir kopi. Dan anak kecil itu menyemir sepatunya sampai mengkilap. Seperti biasanya, setelah anak itu selesai menyemir sepatu, bapak itu memberikan sejumlah uang kepadanya.
Kejadian ini terus saja berulang sampai suatu pagi terjadi suatu hal yang tidak seperti biasanya. Hingga suatu ketika Budi melihat sang bapak turun dari kapal, dengan sekuat tenaga ia berlari menghampirinya dan membawa tasnya sampai ke kedai kopi.
Ia membuka sepatu pengusaha itu dengan tangannya sendiri dan kemudian menyemir sepatunya sampai mengkilap. Dari sorot matanya yang polos, ia melakukannya dengan penuh antusias.
Setelah selesai, bapak ini mengeluarkan sejumlah uang dari kantongnya untuk memberikannya kepada anak itu. Tapi reaksinya sungguh berbeda, Budi menolak pemberian pengusaha itu.
Si pengusaha kaget. “Apa yang terjadi? Apa ia tidak membutuhkan uang?” Tanya Bapak itu dalam hatinya. Kemudian dengan lembut pengusaha itu bertanya sambil menatap wajah Budi.
“Nak, kenapa kamu tidak mau mengambil uang ini? Apakah kamu tidak membutuhkannya?” Tanya pengusaha sambil menunjukkan uangnya.
Dengan mata berkaca-kaca anak kecil tersebut menjawab, “Pak, saya ini anak yatim piatu. Dari kecil saya hidup di jalanan. Kedua orang tua saya sudah lama meninggal. Sampai saat ini saya belum pernah merasakan bagaimana kasih sayang orang tua.” Cerita Budi.
“Tetapi ketika pertama kali saya bertemu dengan bapak, dan saat itu bapak memanggil saya dengan sebutan, ‘Nak, mari datang kemari’, batin saya menangis, saya merasa seperti bertemu dengan orang tua saya yang sudah lama meninggal.” Tambahnya.
“Saya merasa memiliki ayah lagi. Oleh sebab itu saya tidak mau lagi mengambil uang yang Bapak berikan kepada saya. Mulai sekarang, tidak ada satupun yang tidak ingin saya lakukan untuk bapak. Semuanya akan saya lakukan untuk menyenangkan hati Bapak.” Ceritanya lagi.
Pengusaha itu terdiam sejenak mendengar cerita Budi yang memilukan. Kemudian sambil menangis, dia memegang bahu Budi dan memandang wajahnya, pengusaha itu bertanya, “Nak, maukah mulai saat ini kamu tinggal bersamaku dan kuanggap sebagai anak?” Sambil memeluk erat pengusaha itu Budi menjawab dengan senang hati, “Ya, Pak. Saya mau!”
Sungguh memilukan. Bukankah demikian dengan kita? Ketika kita sebagai anak yang tak memiliki keluarga sama sekali, utusan Tuhan datang dan menjelma sebagai seorang penolong, menghampiri dan memanggil kita, “Nak, mari datang kemari!” Saat suara itu memanggil, kita merasakan kembali kasih sayang orang tua.
Ketika kita merasakan kasih sayangnya yang besar, kasih tanpa batas dan tanpa syarat itu, kasih penolong itu pula yang dapat membuat kita berkata seperti anak kecil itu, ”Mulai sekarang, tidak ada satupun yang tidak ingin saya lakukan untuk bapak. Semuanya akan saya lakukan untuk menyenangkan hati Bapak.”


Sumber: http://sosbud.kompasiana.com/2010/05/26/kedai-kopi-si-budi-kecil/

Kedai Kopi Si Budi Kecil